Senin, 30 November 2009

Pasar Tradisional vs Pasar Modern

Berbeda dengan pasar modern, pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.

Namun, selain menyandang keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Ketika konsumen menuntut ’nilai lebih’ atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Belum lagi kenyataan, Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang sangat sensitif terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional.

Ancaman Pasar Modern Terhadap Pasar Tradisional

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket meru-pakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern. Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia beserta penghuninya hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. (*)Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.
Hanya tinggal menunggu waktu pasar tradisional akan mati oleh pasar modernSetelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.

Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Pendirian Carrefour di kawasan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, misalnya. Awalnya Carrefour Ciledug ditolak keras oleh semua pedagang tradisional di sekelilingnya, tetapi pada akhirnya bisa beroperasi dengan mulus persis menjelang Natal 2007.

Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemda, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. “Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang,” kata Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag.

Akan Mati Semua
Penandatanganan Perpres berlangsung setelah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melepas bisnis ritelnya, dengan menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Alfa Retailindo Tbk pada 5 Oktober 2006, dan di PT Sumber Alfaria Trijaya 15 Desember 2006. Ribuan outlet Alfamart dan Alfamidi tersebar di kawasan pemukiman warga, belum termasuk Alfa Rabat sekelas supermarket sebanyak 29 buah.

Setelah itu muncul kabar raksasa ritel asal Perancis PT Carrefour Indonesia sepakat untuk membeli 75 persen saham Alfa Ratailindo, dengan menyasar supermarketnya. Nota kesepahaman pembelian saham ditandatangani di Singapura 17 Desember 2007, dilanjutkan negosiasi pembelian saham pada 6 Januari 2008, menjadikan Carrefour berpotensi memonopoli usaha ritel sebab tampil sebagai market leader dan price leader.

Apabila pembelian saham Alfa benar-benar terjadi, maka, langkah perubahan Alfa Rabat menjadi Carrefour akan sama persis mengikuti jejak perubahan Hero menjadi Giant, atau supermarket Matahari menjadi Hypermart.

Masih terlalu dini, memang, untuk menilai ada keterkaitan antara berbagai aksi korporasi perusahaan terbuka di atas dengan keluarnya Perpres Pasar Modern. Tetapi bersamaan dengan Perpres pasar Modern dikeluarkan pula Perpres No 111 tentang Perubahan Atas Perpres No 77 Tahun 2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, atau tentang Daftar Negatif Investasi (DNI), yang memberikan penegasan perihal penanaman modal asing di sektor ritel. Sebagai misal, definisi supermarket, minimarket, dan departemen store skala kecil dicantumkan dalam kelompok usaha ritel dengan syarat 100 persen modal dalam negeri. Investor asing ditentukan hanya boleh masuk dalam bisnis supermarket ukuran besar dengan luasan lantai penjualan lebih dari 1.200 meter persegi (m2), dan departemen store besar yang berukuran lebih dari 2.00 m2.

Dari sisi pemerintah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berharap Perpres dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pasar tradisional, sekaligus menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk bisnis ritel. “Perpres ini intinya mengatur masalah zonasi, bagaimana perlindungan pasar tradisional dan ekspansi. Juga, bagaimana supaya pengaturan lokasi pasar tradisional dan ritel modern akan bisa lebih bagus,” kata Mari.
Ketika memberikan penjelasan kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog di Jakarta Jumat (28/12), Mari mengatakan, dengan pemberlakuan Perpres persoalan rebutan pelanggan antara ritel tradisional dan modern bisa diminimalisasi.

Mari percaya, perlindungan pasar tradisional bisa dilakukan karena aturan pembangunan pasar harus mengacu pada tata ruang dan wilayah yang sudah dimiliki Pemda. Termasuk pengucuran kredit usaha rakyat kepada pedagang tradisional. “Dengan keluarnya Perpres ini maka akan memperlancar program pemberdayaan untuk pedagang seperti pengucuran kredit mikro dan sebagainya,” kata Mari. Ia mengingatkan, perbaikan kinerja ritel tradisional perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan memperbaiki bangunan pasar tradisional, serta pemberdayaan pedagang kecil dan peritel tradisional melalui berbagai program.

Pemberlakuan aturan baku pendirian pasar tradisional dan pasar modern akan membuat persaingan keduanya semakin sengit di masa-masa mendatang. Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, hypermarket telah menyebabkan gulung tikarnya pasar tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Data yang dikumpulkan APPSI pada tahun 2005, saat hypermarket belum begitu menggejala seperti sekarang, memaparkan, di Jakarta terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap tahun karena kalah bersaing dengan hypermarket.

Putri Kuswisnu Wardani, Juru Bicara 9 Aliansi Multi Industri mengatakan, para pedagang di pasar tradisional tidak akan pernah mungkin bisa bersaing dengan peritel besar pemilik hipermarket atau supermarket. Pasar tradisional juga tidak bisa melakukan minus margin untuk menarik konsumen, karena tidak ingin menekan pemasok dan produsen.

“Jadi sudah dapat dipastikan pasar tradisional akan mati semua dan tinggal tunggu waktu saja. Arahnya sudah kelihatan. Yang bisa menolong pasar tradisional dan industri nasional (yang barang-barangnya dijual di hipermarket) dari kehancuran adalah niat dan keberpihakan dari pemerintah,” ucap Putri. HT (BI 54)

sumber : http://warnadunia.com/artikel-ekonomi-pasar-tradisional-vs-pasar-modern/

Senin, 23 November 2009

19 November 2009

Dibawah Kuasa Komersialisme


SALAH satu tugas jurnalisme yang paling pokok dan penting ada­lah dua hal ini: mencerdaskan pu­blik dan melancarkan kritik alias mengontrol kekuasaan. Ini melekat pada media dan juga jurnalis. Un­tuk mencerdaskan publik, jurnalis dituntut meramu dan menyuguhkan suatu yang kompleks dan rumit menjadi bahasa sederhana yang bisa dipahami masya­rakat luas. Ia harus menulis untuk semua orang. Di sini, jurnalis wajib mengawamkan bahasa-bahasa tek­nis, tapi tak boleh kehilangan substansi --apalagi terdistorsi.

Tugas ini yang coba dilakoni penulis buku ini, mantan Kepala Seksi Peliputan RCTI Dandhy Dwi Laksono dalam buku dengan berjudul provokatif Indonesia for Sale. Saya menikmati buku ini se­­bagai reportase hidup penulisnya, khususnya dalam seting wak­tu antara 2006-2009, ketika ia menggawangi sebuah news room Seputar Indonesia. Pun begitu, ia menyi­sipkan pengalaman-pengalamannya di masa awal sebagai jurnalis, akhir 90-an. Jadi ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pe­nulis menggunakan pengalamannya itu untuk mengudar masalah ekonomi politik yang hadir di negeri ini. Kedua, dia membahas sejumlah topik dengan memanfaatkan pengalaman-pengalamannya itu agar dekat dengan pembaca.

Berhasilkah? Saya kira ya, setidaknya dalam mengawamkan topik-topik berat lewat sejumlah tokoh fiktifnya sopir taksi, tukang toilet, tukang parkir, dan ma­hasiswa. Diskursus neoliberalisme yang sempat mencuat ketika Boediono dipilih SBY untuk mendampinginya maju dalam Pilpresadalah suatu yang lebih mudah dilabelkan pada subjek tertentu ketimbang dipahami.

Peraih penghargaan AJI Jakarta untuk liputan investigasi televise tentang pembunuhan Munir tahun 2008 ini mencari jalan lain untuk menjelaskannya. Lewat praktik kebijakan yang mengejawantah di masa Megawati Soekarnoputri hingga SBY. Lihatlah pada bagian pertama (Orang Awam

Menggugat), bagian kedua (Komersialisasi sampai Mati) dan bagian keempat (Neoliberalisme Kegemaran Republik Indonesia). Tiga bagian ini membuat pembaca ''ngeh'' atas persoalan se­perti alasan harga bahan bakar mi­nyak (BBM) naik turun, barang Indonesia tapi harga luar negeri, hingga komersialisasi di bidang pendidikan (makin dikukuhkan dengan terbitnya UU Ba­dan Hukum Pendidikan).

Ia tak sependapat dengan ko­mersialisasi pendidikan yang ditiupkan UU BHP. Baginya ini je­las menghalangi masyarakat -teru­tama warga miskin-- untuk menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi. UU ini memang me­ngatur bahwa biaya pendidikan yang ditanggung peserta didik tak lebih dari sepertiga, namun tetap saja itu tak menyelesaikan urusan. Rakyat kecil tak bakal mampu men­jangkau perguruan tinggi --bahkan andaipun tetap berstatus kampus negeri yang pembiayaannya disuntik dana pemerintah.

Maklum di antara penduduk mis­kin yang berpenghasilan Rp 20 ribu per hari hanya 3,3 persen yang bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Artinya, keluarga miskin yang tak pernah jadi sarjana, selamanya juga tak akan punya keturunan sarjana? Tak punya cucu dan cicit sarjana (hlm. 206-207).

Penulis menyesalkan sikap PDIP dan Golkar yang tak mau mengambil sikap bertolak belakang dengan Demokrat dalam urusan UU BHP. Maka, ''aku agak heran bila dalam kampanyenya, cawapres Prabowo Subianto menandatangani kontrak politik untuk mencabut UU BHP.'' Produk legislasi yang ikut disetujui oleh partai pasangannya (PDIP). Ketimbang berdebat soal komersialisasi pendidikan, penulis mengajak kita kem­bali pada konstitusi, yakni alinea keempat pembukaan UUD 1945. Salah satu alasan dibentuknya negara ini adalah untuk, ''mencerdaskan kehidupan bangsa''.

Apalagi pasal 31 menyebutkan setiap warga negara berhak men­dapat pendidikan. Nah, itu berarti menyediakan pendidikan itu tugas negara. Bukan tugas pasar. Bukan tugas pemodal swasta (hlm. 208). Neoliberalisme adalah paham yang berpangkal pada Friederich August von Hayek dan muridnya Milton Friedman. Keduanya menghendaki kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan peran pemerintah yang minim.

Regulator utama dalam kehidupan ekonomi, apalagi jika bukan mekanisme pasar. Menurut B. Herry Priyono (2007) neoliberalisme adalah bentuk kolonialisasi rangkap dari homo ekonomikus dan homo finansialis.

Yang pertama, kolonisasi homo ekonomikus atas dimensi-dimensi lain hidup manusia. Insting kita akan menghitung untung-rugi me­nurut seorang kapitalis. Ini kolonialisasi terhadap politik, pendidikan, cara berpikir, bahkan bere­lasi dengan orang.

Kedua, kolonisasi homo finansialis --menyangkut masalah ke­uangan-- atas homo realis (nyata). Homo ekonomikus itu berhadapan dengan kalkulasi untung rugi, uang, makanan, perumahan --bagaimana mencukupi kebutuhan hidup. Uang mengolonisasi apa saja yang real dan konkret.

Secara tepat itu dijelaskan Dan­dhy lewat komersialisasi Pantai Ancol atau Anyer. Ini diceritakan lewat Andre Vitchek, seorang warga asing yang heran atas mahalnya hidup di Jakarta. Bayangkan orang Jakarta bila ingin melihat laut di Ancol saja harus membayar, per keluarga Rp 40 ribu. ''Itu untuk masuk dan melihat laut saja. Apalagi di Anyer, laut dikapling-kapling menjadi hotel atau resor. Nelayan harus minggir di tempat tersendiri'' (hlm. 106). Bagi Andre, pantai yang tak boleh untuk umum itu aneh bin ajaib. Beda dengan Pantai Kuta -sentral kunjungan turis-- yang bisa dinikmati wisatawan kapan saja. Ini juga berlaku untuk parkir dan toilet. Kini nyaris tak ada lagi yang gratis di negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Dengan celetukan khas tokoh fiktifnya, penulis menyatakan si­kap atas sejumlah isu, masalah dan kasus yang menghiasi ruang publik. Dia betul-betul meringkus di­rinya untuk tak berperan sebagai pakar, kendatipun ia mampu me­lakukannya jika ditilik dari latar belakang pendidikannya yang jebolan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung serta kelananya ke sejumlah pojok dunia dari Tiongkok hingga Stir­ling, Skotlandia (seting lokasi film Brave Heart yang menceritakan kepahlawanan William Wallace). Ia memilih jadi jurnalis. Menyederhanakan suatu yang rumit, mes­ki tak lupa menyatakan sikap.

Buat penulis, awam kadang memang terjebak untuk berpikir naif. Namun itu bisa berarti kemurnian, menuntun manusia pada hakikat, pada orisinalitas. Pada sesuatu yang nirkepentingan. Suatu yang murni, yang sederhana dan tidak ru­mit atau dirumitkan oleh sistem.

Dengan buku ini, ia ingin mencontoh daya magis lagu-lagu Iwan Fals atau Ebiet G Ade: polos, lugas, murni, awam, naïf, tapi meng­hen­tak nalar (hlm. 124). Selain itu, bu­ku ini mengingatkan media untuk tidak lupa mengkritisi hakikat sistem (satu hal yang melandasi produk kebijakan ekonomi) dan tak hanya bertumpu pada mala­praktik dari dalam sistem yang dianut. Pun demikian, kritik tetap harus diberikan: karena terpedaya untuk mengawamkan topik yang dibahas itu, penulis kerap kali ter­­pelanting untuk melakukan penyederhanaan dan generalisasi. (*)

---

Judul Buku: Indonesia for Sale

Penulis: Dandhy Dwi Laksono

Penerbit: Pedati Surabaya

Cetakan: Oktober 2009

Tebal: xvi+316 halaman

---

Samsul Arifin dari film Anggota Klub film kounoatu dari SCTV
Sumber www.jawapos.co.id
Diposkan oleh Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen di 12:50
Label: Resensi Buku

http://perpustakaansragen.blogspot.com/2009/11/di-bawah-kuasa-komersialisme.html